Selasa, 01 Mei 2012

Agama dan Budaya Bali di persimpangan jalan

Om Swastiastu, Om Awighnamastu Namo Siddham. Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.
Perkawinan Beda Agama
Wednesday, May 19, 2010 at 5:55 AM | Posted by pasupati umaseh
Perkawinan Beda Agama

Pada jaman modern dan era globalisasi seperti sekarang ini, peran orang tua barangkali sudah tidak begitu dominan dalam menentukan jodoh putra-putranya. Anak-anak muda sekarang ini lebih banyak menentukan jodohnya sendiri. Penentuan jodoh oleh diri sendiri itu amat tergantuang pada kadar kemampuan mereka yang melakukan perkawinan. Tapi nampaknya lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan duniawi, seperti kecantikan fisik, derajat keluarga dan ukuran sosial ekonomi dan bukan derajat rohani.

tentang perkawinan antar agama, bagi kita umat Hindu tidak dibenarkan, dalam Manawa Dharmasastra (Tritiyo ‘dhyayah) disebutkan bahwa;
“Acchadya carcayitwa ca, sruti sila wate swayam, ahuya danam kanyaya, brahma dharmah prakirtitah” - Manawa Dharmasastra 3.27 (Tritiyo ‘dhyayah)
Artinya:
Pemberian seorang gadis setelah terlebih dahulu dirias dan setelah menghormat kepada seorang ahli weda yang berbudi bahasa baik yang diundang oleh ayah si gadis, itulah perkawinan brahma wiwaha.
Tafsirnya:
seorang wanita yang hendak dikawini oleh seorang lelaki yang beragama Hindu (meyakini kitab suci Weda), hendaklah seorang wanita yang berpendidikan baik (dirias) dan seorang wanita yang taat beragama Hindu (karena ia harus terlebih dahulu mendapat restu orang tua dan disucikan oleh seorang Wiku).

Oleh karena itu bila ada beda agama, maka penganten agar ‘di-Hindu-kan’ dahulu dengan upacara sudhi waddani. Setelah itu barulah pawiwahan dapat dilaksanakan. berkaitan dengan kemajuan keadaan saat ini di mana banyak orang yang mendukung pluralism (pluralization), mungkin kurang tepat kalau kita masukkan dalam ’srada’ karena masalah keyakinan dan kepercayaan setiap pemeluk agama adalah masalah yang sangat pribadi dan individual.

perkawinan antar agama ini menyangkut dua aspek;

pertama adalah masuk Hindu;
perkawinan dengan segala akibat hukumnya (warisan).

Keduanya saling mengkait. Perkawinan di mana sang suami (Agama Lain) mengikuti agama istri (Hindu) sebenarnya tidak ada masalah; upacaranya dengan Sudi Waddani mendahului upacara perkawinan. Yang jadi masalah jika perkawinan itu berdampak kepada Hukum Waris yang di dalam istilah adat di Bali dinamakan “ngrajeg dalem” atau “nyentana”.

Jika ini yang dimaksud maka tindakan hukum ini harus mendapat persetujuan dari semua ahli waris yang berhak, di mana persetujuan atau penolakan harus dilakukan secara tertulis, dan untuk amannya dibuatkan Akta Notaris. Apabila perkawinan itu dilaksanakan tidak dengan maksud ngrajeg dalem harus pula dinyatakan dengan tegas dalam suatu akte agar tidak menyulitkan para ahli waris di kemudian hari.

Bagi mereka yang tadinya beragama lain kemudian menjadi Hindu tentulah saat bersejarah itu ada patokannya yaitu segera setelah ia mengucapkan kata-kata suci yang disebut Suddhi Wadani. Kata-kata suci itu tiada lain pernyataan dan pengakuan bahwa Tuhan itu Hyang Widhi dengan berbagai bentuk manifestasinya. Suddhi Wadani kemudian dibuatkan dokumen yang disahkan PHDI. Suddhi artinya suci, dan wadani artinya ucapan. Jadi Suddi wadani adalah ucapan suci dari seseorang yang mengakui bahwa Tuhan adalah Hyang Widhi dengan segala manifestasinya.

Prosedurnya sebagai berikut:

Hubungi PHDI setempat minta blangko surat pernyataan masuk agama Hindu dan blangko surat keterangan Suddhi Wadani.
Undang saksi-saksi yaitu PHDI, Lurah, Klian Adat (jika di Bali), saudara, ayah/ ibu, teman dll.
Minta seorang rohaniawan (Pandita atau Pinandita) memimpin upacara.
Sesajen yang diperlukan minimal banten pejati dua buah dan beakala. Pejati satu untuk pesaksi Siwa Raditya (Dewa saksi), dan yang satu untuk penganteb rohaniawan. Beakala kecil untuk Bhuta saksi. Bentuk upakara lain dibolehkan asal terdiri dari unsur-unsur: bunga, biji-bijian/ buah, daun-daunan, api dan air (panca upakara)


Suddhi Wadani dilakukan dengan meniru ucapan mantram dari rohaniawan:
OM I BA SA TA A
OM YA NAMA SIWAYA
OM ANG UNG MANG,
OM SA BA TA A I
OM YA NAMA SIWAYA
OM MANG UNG ANG
Artinya:
OM = AUM, I = Isana, BA = Bamadeva, Sa = Sadiyojata, TA = Tatpurusha, A =Aghora, (semuanya adalah “nama-nama” Hyang Widhi sesuai manifestasi-Nya). Ya nama siwaya = atas kehendak/ kebesaran/ kekuasaan Hyang Widhi.

Untuk menjadi Hindu cukup dengan upacara Suddhi Wadani ini saja, tidak perlu dilengkapi dengan upacara manusa yadnya, sesuai dengan Keputusan Kesatuan Tafsir Aspek-aspek Agama Hindu yang sudah disahkan PHDI.

by cakepane.blogspot

Posted In artikel klir bali | 2 comments | Links to this post
Reactions:
Kawin Lari, salah satu alaternatif pernikahan Adat Bali
at 5:37 AM | Posted by pasupati umaseh
Kawin Lari, salah satu alaternatif pernikahan Adat Bali

Umat Hindu mempunyai tujuan hidup yang disebut Catur Purusa Artha yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Hal ini tidak bisa diwujudkan sekaligus tetapi secara bertahap. Tahapan untuk mewujudkan empat tujuan hidup itu disebut dengan Catur Asrama. Pada tahap Brahmacari asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mendapatkan Dharma. Grhasta Asrama memprioritaskan mewujudkan artha dan kama. Sedangkan pada Wanaprasta Asrama dan Sanyasa Asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mencapai moksa.

Perkawinan atau wiwaha dalam adat Hindu di Bali merupakan upaya untuk mewujudkan hidup Grhasta Asmara, tugas pokoknya menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut "Yatha sakti Kayika Dharma" yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma.
Jadi seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan Dharma dalam kehidupan ini. Kemandirian dan profesionalisme inilah yang harus benar-benar disiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan

Pada tahap persiapan, seseorang yang akan memasuki jenjang perkawinan amat membutuhkan bimbingan, khususnya agar dapat melakukannya dengan sukses atau memperkecil rintangan-rintangan yang mungkin timbul. Bimbingan tersebut akan amat baik kalau diberikan oleh seorang yang ahli dalam bidang agama Hindu, terutama mengenai tugas dan kewajiban seorang grhastha, untuk bisa mandiri di dalam mewujudkan tujuan hidup mendapatkan artha dan kama berdasarkan Dharma.

Perkawinan umat Hindu merupakan suatu yang suci dan sakral, oleh sebab itu pada jaman Weda, perkawinan ditentukan oleh seorang Resi, yang mampu melihat secara jelas, melebihi penglihatan rohani, pasangan yang akan dikawinkan. Dengan pandangan seorang Resi ahli atau Brahmana Sista, cocok atau tidak cocoknya suatu pasangan pengantin akan dapat dilihat dengan jelas.

Pasangan yang tidak cocok (secara rohani) dianjurkan untuk membatalkan rencana perkawinannya, karena dapat dipastikan akan berakibat fatal bagi kedua mempelai bersangkutan. Setelah jaman Dharma Sastra, pasangan pengantin tidak lagi dipertemukan oleh Resi, namun oleh raja atau orang tua mempelai, dengan mempertimbangkan duniawi, seperti menjaga martabat keluarga, pertimbangan kekayaan, kecantikan, kegantengan dan lain-lain. Saat inilah mulai merosotnya nilai-nilai rohani sebagai dasar pertimbangan.

Pada jaman modern dan era globalisasi seperti sekarang ini, peran orang tua barangkali sudah tidak begitu dominan dalam menentukan jodoh putra-putranya. Anak-anak muda sekarang ini lebih banyak menentukan jodohnya sendiri. Penentuan jodoh oleh diri sendiri itu amat tergantuang pada kadar kemampuan mereka yang melakukan perkawinan. Tapi nampaknya lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan duniawi, seperti kecantikan fisik, derajat keluarga dan ukuran sosial ekonomi dan bukan derajat rohani.

dalam adat hindu bali, mengenal ada 2 macam pernikahan:

Memadik/meminang : Dimana pihak laki-laki meminta kepada orang tua pihak perempuan untuk menikahkan anak laki-laki mereka dengan anak gadis dari pihak perempuan.
Kawin Lari : Pernikahan yang tidak direstui oleh salah satu orang tua mempelai atau biasa juga dijumpai pada pernikahan beda wangsa, dimana perempuan meninggalkan rumahnya untuk menikah tanpa sepengetahuan orang tuanya. bagi masyarakat Hindu perempuan yang berwangsa Brahmana tidak diperkenankan untuk menikah dengan pria yang berkasta lebih rendah. Jika hal tersebut dilakukan maka ritual perkawinan haruslah mengikuti perubahan status itu.


dalam sistim pernikahan MEMADIK, orang tua dari pihak perempuan otomatis akan merasa lebih terhormat... maklumlah, karena dia merasa dihargai. orang bali “penggak-an” mengatan “ ngidih kuluk dogen ngorahang masak pianak rage tusing” yang artinya mau minta anak anjing saja harus permisi dulu sama yang punya, masak anak orang enggak. nah, istilah inilah yang secara tidak langsung dipegang oleh masyarakat bali. (penggak – tempat nonggrong, sejenis pos siskamling dekat warung).

lain halnya dengan KAWIN LARI, orang tua dari pihak perempuan akan merasa tersinggung dan direndahkan karena pihak yang pria tanpa permisi mangambil anaknya (seperti istilah diatas). sistim Kawin Lari dewasa ini biasanya diambil karena ada beberapa alasan diantaranya;
memang orang tua tidak menyetujuinya karena mungkin ada alasan mendasar, sehingga satu2nya jalan hanyalah ini.
perbedaan wangsa, yang biasanya orang didesa masih kaku sehingga diplesetkan menjadi sistim kasta sehingga terjadi ketimpangan kasta. dari perbedaan ini ada dua kemungkinan;

orang tuanya yang memang tidak setuju,
Orang tuanya merestui tetapi keluarga menentang alias tidak setuju,
orang tua dan keluarga merestui tatapi adat di desa setempat yang tidak mengijinkan pernikahan beda kasta.

memang adat setempat yang tidak mungkinkan pernikahan dilaksanakan pada bulan bersangkutan, mungkin berkenaan dengan aturan internal desa atau adanya prosesi upacara besar di desa pihak perempuan sehingga sistim Madik belum diperbolehkan hingga beberapa waktu kedepan.

nah.. alasan yang terakhir ini yang biasa dipakai alasan belakangan ini. Ortu, kluarga n adat merestui tapi dana pernikahan belum mencukupi, (misal; pihak perempuan dari daerah jauh, so.. hemat energi hemat biaya)

proses pernikahan

Pada hari yang telah disetujui oleh pasangan pengantin, salah seorang saudara atau orang lain yang dimintai tolong, menjemput si perempuan dan membawanya ke rumah salah satu kerabatnya untuk di sembunyikan selama 3 hari atau sampai orangtua pihak perempuan mengakui bahwa anak gadisnya sudah menikah.
selang beberapa jam, sedikitnya 2 orang keluarga, kelian adat dan dinas dari pihak laki-laki menyampaikan pesan kepada orangtuanya bahwa anak gadisnya telah pergi menikah melalui Kelian Banjar dari pihak perempuan.
Bila orangtua pihak perempuan menyetujui anaknya telah dilarikan dan akan menikah dengan laki-laki pilihannya, maka kedua orangtua gadis tersebut akan menentukan kapan wakil laki-laki bisa datang kembali ke rumahnya untuk menyelesaikan masalah ini.
Baru keesokan harinya mereka berdua dijemput oleh orangtua dan keluarga besar pihak laki-laki untuk kembali ke rumah dan melaksanakan pernikahan adat bali.


Menurut kepercayaan Hindhu di Bali, pernikahan merupakan acara yang sangat sakral dan suci. Pernikahan merupakan suatu saat yang amat penting dalam kehidupan orang Bali, karena pada saat itulah ia dapat dianggap sebagai warga penuh dari masyarakat, dan baru sesudah itu ia memperoleh hak-hak dan kewajiban seorang warga komuniti dan warga kelompok kerabat.

Mewidhi-widhana atau mebantalan (Upacara Perkawinan)merupakan upacara puncak atau tertinggi dalam pernikahan adat Bali. Disaksikan oleh warga, tokoh adat, prajuru (pengurus) banjar dan desa setempat sebagai saksi di dunia, dan juga banten atau sesajen sebagai saksi persembahandi hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wase (Tuhan). Dan juga disaksikan oleh bhuta kala yang diwujudkan dengan mempersembahkan “segehan” dan “pecaruan”.

Peralatan Upacara Mekala-kalaan
Sanggah Surya
Di sebelah kanan digantungkan biyu lalung dan di sebelah kiri sanggah digantungkan sebuah kulkul berisi berem. Sanggah Surya merupakan niyasa (simbol) stana Sang Hyang Widhi Wasa, dalam hal ini merupakan stananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih.Biyu lalung adalah simbol kekuatan purusa dari Sang Hyang Widhi dan Sang Hyang Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Jaya, sebagai dewa kebajikan, ketampanan, kebijaksanaan simbol pengantin pria.
Kulkul berisi berem simbol kekuatan prakertinya Sang Hyang Widhi dan bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Ratih, dewa kecantikan serta kebijaksanaan simbol pengantin wanita.

Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg)
Simbol calon pengantin, yang diletakkan sebagai alas upakara mekala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon pengantin.

Tikeh Dadakan (tikar kecil)
Tikeh dadakan diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara (hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual, tikeh dadakan adalah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni).

Keris
Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon pengantin pria. Biasanya nyungklit keris, dipandang dari sisi spritualnya sebagai lambang kepurusan dari pengantin pria.

Benang Putih
Dalam mekala-kalaan dibuatkan benang putih sepanjang setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm.Angka 12 berarti simbol dari sebel 12 hari, yang diambil dari cerita dihukumnya Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara mekala-kalaan otomatis sebel pengantin yang disebut sebel kandalan menjadi sirna dengan upacara penyucian tersebut. Dari segi spiritual benang ini sebagai simbol dari lapisan kehidupan, berarti sang pengantin telah siap untuk meningkatkan alam kehidupannya dari Brahmacari Asrama menuju alam Grhasta Asrama.

Tegen – tegenan
Makna tegen-tegenan merupakan simbol dari pengambil alihan tanggung jawab sekala dan niskala.
Perangkat tegen-tegenan :

batang tebu berarti hidup pengantin artinya bisa hidup bertahap seperti hal tebu ruas demi ruas, secara manis.
Cangkul sebagai simbol Ardha Candra. Cangkul sebagai alat bekerja, berkarma berdasarkan Dharma
Periuk simbol windhu
Buah kelapa simbol brahman (Sang Hyang Widhi)
Seekor yuyu simbol bahasa isyarat memohon keturunan dan kerahayuan.


Suwun-suwunan (sarana jinjingan)
Berupa bakul yang dijinjing mempelai wanita, yang berisi talas, kunir, beras dan bumbu-bumbuan melambangkan tugas wanita atau istri mengmbangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon kunir dan talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.

Dagang-dagangan
Melambangkan kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung segala Resiko yang timbul akibat perkawinan tersebut seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.

Sapu lidi (3 lebih)
Simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama lain, isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat dengan kewajiban melaksanakan Tri Rna, berdasarkan ucapan baik, prilaku yang baik dan pikiran yang baik, disamping itu memperingatkan agar tabah menghadapi cobaan dan kehidupan rumah tangga.

Sambuk Kupakan (serabut kelapa)
Serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut kelapa berbelah tiga simbol dari Triguna (satwam, rajas, tamas). Benang Tridatu simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) mengisyaratkan kesucian.Telor bebek simbol manik. Mempelai saling tendang serabut kelapa (metanjung sambuk) sebanyak tiga kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Apabila mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara cepat di masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri, agar kekuatan triguna dapat terkendali. Selesai upacara serabut kalapa ini diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.

Tetimpug
Bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh yang bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma.


Setelah upacara mekala-kalaan selesai dilanjutkan dengan cara membersihkan diri (mandi) hal itu disebut dengan “angelus wimoha” yang berarti melaksanakan perubahan nyomia kekuatan asuri sampad menjadi daiwi sampad atau nyomia bhuta kala Nareswari agar menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih agar harapan dari perkawinan ini bisa lahir anak yang suputra.

Setelah mandi pengantin dihias busana agung karena akan natab di bale yang berarti bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Selanjutnya pada hari baik yang selanjutnya akan dilaksanakan upacara Widhi Widana (aturan serta bersyukur kepada Hyang Widhi). Terakhir diadakan upacara pepamitan ke rumah mempelai wanita (bila sudah direstui oleh orang tuanya).

by cakepane.blogspot

Posted In artikel klir bali | 0 comments | Links to this post
Reactions:
Pernikahan menurut pandangan Hindu Bali
at 5:29 AM | Posted by pasupati umaseh
Pernikahan menurut pandangan Hindu Bali

PENDAHULUAN

Sam jaaspatyam suyamam astu devah (Rgveda X. 85. 23)
Hyang Widhi, semoga kehidupan pernikahan ini tenteram dan bahagia.

Asthuuri no gaarhapatyaani santu (Rgveda VI. 15. 19)
Semoga hubungan suami-istri ini tidak pernah putus dan berlangsung selamanya.

Ihaiva stam maa vi yaustam, Visvaam aayur vyasnutam, kriidantau putrair naptrbhih, modamaanau sve grhe (Rgveda X. 85. 42)
Semoga pasangan suami-istri ini tetap erat dan tak pernah terpisahkan, mencapai kehidupan yang penuh kebahagiaan, tinggal di rumah dengan hati gembira, dan bersama bermain dengan anak-anak dan cucu-cucu.

Pernikahan atau wiwaha dalam Agama Hindu adalah yadnya dan perbuatan dharma. Wiwaha (pernikahan) merupakan momentum awal dari Grahasta Ashram yaitu tahapan kehidupan berumah tangga. dalam adat Hindu di Bali merupakan upaya untuk mewujudkan hidup Grhasta Asmara, tugas pokoknya menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut „Yatha sakti Kayika Dharma“ yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma. Jadi seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan Dharma secara profesional haruslah dipersiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan.

Grahasta Ashram secara sah dimulai pada saat seorang lelaki dan seorang wanita mengangkat sumpah untuk hidup bersama dengan direstui dan disaksikan oleh kedua orang tua/wali, diberkati dengan mantra suci Weda oleh pinandita, dan dicatat oleh Parisadha Hindu Dharma.

Undang-Undang R.I. No. 1/1974 pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhan-an Yang Maha Esa.

Wiwaha adalah ikatan suci dan komitment seumur hidup menjadi suami-istri dan merupakan ikatan sosial yang paling kuat antara laki laki dan wanita. Wiwaha juga merupakan sebuah cara untuk meningkatkan perkembangan spiritual. Lelaki dan wanita adalah belahan jiwa, yang melalui ikatan pernikahan dipersatukan kembali agar menjadi manusia yang seutuhnya karena di antara keduanya dapat saling mengisi dan melengkapi. Wiwaha harus berdasarkan pada rasa saling percaya, saling mencintai, saling memberi dan menerima, dan saling berbagi tanggung jawab secara sama rata, saling bersumpah untuk selalu setia dan tidak akan berpisah.

Pawiwahan atau Pernikahan adat menurut orang bali pada hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri. Sarana Pawiwahan berupa Segehan cacahan warna lima, Api takep (api yang dibuat dari serabut kelapa), Tetabuhan (air tawar, tuak, arak), Padengan-dengan/pekata-kalaan, Pejati, Tikar dadakan (tikar kecil yang dibuat dari pandan), Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya berisi periuk, bakul yang berisi uang), Bakul, Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan benang putih.

Rangkaian upacara pawiwahan merupakan pengesahan karena sudah melibatkan tiga kesaksian yaitu: Bhuta saksi (upacara mabeakala), Dewa saksi (upacara natab banten pawiwahan, mapiuning di Sanggah pamerajan), dan Manusa saksi (dengan hadirnya prajuru adat, birokrat, dan sanak keluarga/ undangan lainnya). Manusa saksi diwujudkan secara hukum dalam bentuk Akta Perkawinan, sSesuai dengan Undang-Undang No. 1/1974 pasal 2, Akta Perkawinan itu dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Di Daerah Kabupaten yang kecil, pejabat catatan sipil kadang-kadang dirangkap oleh Bupati atau didelegasikan kepada Kepala Kecamatan. Jadi tugas catatan sipil disini bukanlah “mengawinkan” tetapi mencatatkan perkawinan itu agar mempunyai kekuatan hukum.

Makna dan Lambang
UU Perkawinan no 1 th 1974, sahnya suatu perkawinan adalah sesuai hukum agama masing-masing. Jadi bagi umat Hindu, melalui proses upacara agama yang disebut “Mekala-kalaan” (natab banten), biasanya dipuput oleh seorang pinandita. Upacara ini dilaksanakan di halaman rumah (tengah natah) karena merupakan titik sentral kekuatan “Kala Bhucari” sebagai penguasa wilayah madyaning mandala perumahan. Makala-kalaan berasal dari kata “kala” yang berarti energi. Kala merupakan manifestasi kekuatan kama yang memiliki mutu keraksasaan (asuri sampad), sehingga dapat memberi pengaruh kepada pasangan pengantin yang biasa disebut dalam “sebel kandel”.

Dengan upacara mekala-kalaan sebagai sarana penetralisir (nyomia) kekuatan kala yang bersifat negatif agar menjadi kala hita atau untuk merubah menjadi mutu kedewataan (Daiwi Sampad). Jadi dengan mohon panugrahan dari Sang Hyang Kala Bhucari, nyomia Sang Hyang Kala Nareswari menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih.

Jadi makna upacara mekala-kalaan sebagai pengesahan perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai, berupa sukla (spermatozoa) dari pengantin laki dan wanita (ovum) dari pengantin wanita.

Tujuan Perkawinan / Wiwaha

Tujuan pokok perkawinan adalah terwujudnya keluarga yang berbahagia lahir bathin. Kebahagiaan ini ditunjang oleh unsur-unsur material dan non material.
Unsur material adalah tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan/ perumahan (yang semuanya disebut Artha).
Unsur non material adalah rasa kedekatan dengan Hyang Widhi (yang disebut Dharma), kepuasan sex, kasih sayang antara suami-istri-anak, adanya keturunan, keamanan rumah tangga, harga diri keluarga, dan eksistensi sosial di masyarakat (yang semuanya disebut Kama).

Kitab Manavadharmasastra menyatakan bahwa tujuan wiwaha meliputi:

Dharmasampati yang berarti bahwa pernikahan merupakan salah satu dharma yang harus dilaksanakan sebagai umat Hindu sesuai dengan ajaran Catur Ashrama, sehingga pasangan suami istri melaksanakan: Dharmasastra, Artasastra, dan Kamasastra. Jika dikaitkan dengan Catur Purusaarta, maka pada masa Grhasta manusia Hindu telah melaksanakan Tripurusa, yaitu Dharma, Artha, dan Kama. Purusa keempat (Moksa) akan sempurna dilaksanakan bila telah melampaui masa Grhasta yaitu Wanaprasta dan Saniyasin. Melalui pernikahan ini juga kedua mempelai diberikan jalan untuk dapat melaksanakan dharma secara utuh seperti dharma seorang suami atau istri, dharma sebagai orang tua, dharma seorang menantu, dharma sebagai ipar, dharma sebagai anggota masyarakat sosial, dharma sebagai umat, dll.
Praja yang berarti bahwa pernikahan bertujuan untuk melahirkan keturunan yang akan meneruskan roda kehidupan di dunia. Tanpa keturunan, maka roda kehidupan manusia akan punah dan berhenti berputar. sehingga Pernikahan / pawiwahan sangat dimuliakan karena bisa memberi peluang kepada anak/ keturunan untuk melebur dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma kembali sebagai manusia. Dari perkawinan diharapkan lahir anak keturunan yang dikemudian hari bertugas melakukan Sraddha Pitra Yadnya bagi kedua orang tuanya sehingga arwah mereka dapat mencapai Nirwana. Sebagai orang tua, suami-istri diwajibkan memberikan bimbingan dharma kepada semua keturunan agar mereka kelak dapat meneruskan kehidupan yang harmonis, damai, dan sejahtera. Anak keturunan merupakan kelanjutan dari kehidupan atau eksistensi keluarga. Anak dalam Bahasa Kawi disebut “Putra” asal kata dari “Put” (berarti neraka) dan “Ra” (berarti menyelamatkan). Jadi Putra artinya: “yang menyelamatkan dari neraka”. Suatu kekeliruan istilah di masyarakat dewasa ini, bahwa anak laki-laki dinamakan putra dan anak perempuan dinamakan putri; melihat arti putra seperti di atas, maka putri tidak mempunyai makna apa-apa karena “ri” tidak ada dalam kamus Bahasa Kawi. Pandita berpendapat lebih baik anak perempuan dinamakan Putra Istri, bukannya putri.
Rati yang berarti pernikahan adalah jalan yang sah bagi pasangan mempelai untuk menikmati kehidupan seksual dan kenikmatan duniawi lainnya. Merasakan nikmat duniawi secara sah diyakini akan dapat memberikan ketenangan batin yang pada akhirnya membawa jiwa berevolusi menuju spiritualitas yang meningkat dari waktu kewaktu. Kedua mempelai diharapkan dapat membangun keluarga yang sukinah (selalu harmonis dan berbahagia), laksmi (sejahtera lahir batin), siddhi (teguh, tangguh, tegar, dan kuat menghadapi segala masalah yang menerpa), dan dirgahayu (pernikahan berumur panjang dan tidak akan tercerai berai). Hal ini sesuai dengan mantra yang seringkali kita lantunkan dalam puja bhakti sehari hari: “Om Sarwa Sukinah Bhawantu. Om Laksmi, Sidhis ca Dirgahayuh astu tad astu swaha”.


Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya. Dalam kitab suci Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan
“Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wang juga wenang gumaweakenikang subha asubha karma, kunang panentasakena ring subha karma juga ikang asubha karma pahalaning dadi wang”
artinya:
dari demikian banyaknya semua mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat baik atau buruk. Adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi manusia.

Berkait dengan sloka tersebut, karma hanya dengan menjelma sebagai manusia, karma dapat diperbaiki menuju subha karma secara sempurna. Melahirkan anak melalui perkawinan dan memeliharanya dengan penuh kasih sayang sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur. Lebih-lebih lagi kalau anak itu dapat dipelihara dan dididik menjadi manusia suputra, akan merupakan suatu perbuatan melebihi seratus yadnya, demikian disebutkan dalam Slokantara.

Keluarga yang berbahagia kekal abadi dapat dicapai bilamana di dalam rumah tangga terjadi keharmonisan serta keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, masing-masing dengan swadharma mereka. Keduanya (suami-istri) haruslah saling isi mengisi, bahu membahu membina rumah tangganya serta mempertahankan keutuhan cintanya dengan berbagai “seni” berumah tangga, antara lain saling menyayangi, saling tenggang rasa, dan saling memperhatikan kehendak masing-masing. Mempersatukan dua pribadi yang berbeda tidaklah gampang, namun jika didasari oleh cinta kasih yang tulus, itu akan mudah dapat dilaksanakan.

Tugas dan Kewajiban Suami
Mameyam astu posyaa, mahyam tvaadaad brhaspatih, mayaa patyaa prajaavati, sam jiiva saradah satam (Atharvaveda XIV.1.52)
“Engkau istriku, yang dianugrahkan Hyang Widhi kepadaku, aku akan mendukung dan melindungimu. Semoga engkau hidup berbahagia bersamaku dan anak keturunan kita sepanjang masa”.
Suami hendaknya berusaha tanpa henti untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi keluarganya, menafkahi istri secara lahir dan batin, merencanakan jumlah keluarga, menjadi pelindung keluarga dan figur yang dihormati dan ditauladani oleh istri dan anak-anaknya.

Tugas dan Kewajiban Istri
Samraajni svasure bhava, samraajni svasrvam bhava, nanandari samraajni bhava, samraajni adhi devrsu (Rgveda X.85.46)
“Wahai mempelai wanita, jadilah nyonya rumah tangga yang sesungguhnya, dampingilah (dengan baik) ayah ibu mertuamu, dampingilah (dengan baik) saudara saudari iparmu”.

Yantri raad yantri asi yamani, dhruvaa asi dharitrii (Yajurveda XIV.22)
“Wahai wanita jadilah pengawas keluarga yang cemerlang, tegakkanlah aturan keluarga, dan jadilah penopang keluarga”.

Viirasuup devakaamaa syonaa, sam no bhava dvipade, sam catuspade (Regveda X.85.43)
“Wahai wanita, lahirkanlah keturunan yang cerdas, gagah, dan berani, pujalah selalu Hyang Widhi, jadilah insan yang ramah dan menyenangkan kepada semua orang, dan peliharalah dengan baik hewan peliharaan keluarga”.

Seorang istri hendaknya selalu setia kepada suami, rajin dan taat dalam menjalankan puja bhakti kepada Hyang Widhi, melahirkan dan memelihara anak-anak agar cerdas gagah dan berani, selalu menopang keluarga dan menjalankan aturan dengan baik, berbicara dengan lemah lembut kepada semua orang, menghormati keluarga mertua, menjaga dan mengatur harta keluarga, tanaman, dan hewan peliharaan milik keluarga dengan baik. Bila demikian, niscaya keluarganya akan bahagia dan sejahtera selalu.

JENIS PERKAWINAN
Dalam Kitab Suci Hindu: Manawa Dharmasastra ada delapan cara perkawinan, yaitu:

Brahma Wiwaha: perkawinan terhormat di mana keluarga wanita mengawinkan anaknya kepada pria yang berbudi luhur dan berpendidikan yang dipilih oleh orang tua gadis. (Manawa Dharmasastra Bab III.27)
Dewa Wiwaha: orang tua mengawinkan anak gadisnya kepada pria yang telah berjasa (non material) kepadanya. (Manawa Dharmasastra Bab III.28)
Arsa Wiwaha: orang tua mengawinkan anak gadisnya kepada pria yang memberikan sesuatu (material) kepadanya. (Manawa Dharmasastra Bab III.29)
Prajapatya Wiwaha: perkawinan yang direstui kedua pihak baik dari keluarga laki maupun keluarga wanita. (Manawa Dharmasastra Bab III.30)
Gandharwa wiwaha: perkawinan atas dasar saling mencinta di mana salah satu atau kedua pihak orang tua tidak turut campur, walaupun mungkin tahu. (Manawa Dharmasastra Bab III.32)


Upacara Pawiwahan Sadampati
Upacara Pawiwahan Sadampati adalah upacara yang sangat sederhana, biayanya sedikit namun makna yang dikandung sangat tinggi, karena banten (upakara) yang digunakan dalam upacara pawiwahan ini mengandung simbol-simbol yang lengkap. Perkataan Sadampati terdiri dari rangkaian kata-kata: sa-dampa-ti masing-masing kata berarti sebagai berikut: sa = satu; dampa = tempat duduk/ bangku; ti = orang. Keseluruhan berarti: orang-orang yang duduk bersama dalam satu bangku untuk menikah. Acuan upacara ini adalah lontar: Dharma Kauripan.

Banten yang digunakan sangat sederhana sebagai berikut:

Beakala, simbol pensucian “sukla swanita” (calon jabang bayi) dan sebagai Bhuta saksi, yaitu bagian dari Trisaksi yakni: Bhuta, Dewa, dan Manusa Saksi.
Tegteg daksina peras ajuman masing-masing di Sanggar Surya untuk mohon kesaksian Bhatara Surya/ Siwa, di Lebuh untuk mohon kesaksian Bhatara Wisnu, dan di arepan Pandita untuk mohon pemuput.
Hulu banten berupa tegteg daksina peras ajuman di depan bale pawiwahan.
Dua buah pajegan yaitu pajegan buah-buahan diletakkan di sebelah kanan sebagai simbol pradana, dan pajegan bunga-bungaan disebelah kiri sebagai simbol purusha.
Taledan segi empat sebagai alas banten, simbol catur weda.
Dua buah tumpeng, yaitu merah simbol kama bang (wanita) dan tumpeng putih simbol kama petak (laki-laki).
Satu butir telur bebek rebus simbol calon janin diletakkan di tengah-tengah tumpeng dan ditancapi bunga warna merah dan putih.
Kalungan bunga merah putih simbol kekuatan ikatan perkawinan.
Segehan aperancak sebanyak 5 tanding masing-masing diletakkan dibawah sanggar surya, beakala, bale pawedaan, bale pawiwahan, dan di lebuh, sebagai haturan kepada bhuta kala.
Tegteg daksina peras ajuman di kamar tidur pengantin untuk mohon perlindungan kepada Bethara Semara-Ratih agar pengantin dilindungi dari mara bahaya dalam melaksanakan pawiwahan.


Tata pelaksanaan Upacaranya adalah Pandita ngarga tirta, mareresik, dan mapiuning ke sanggar surya dan lebuh, kemudian pengantin mabeakala, setelah itu pengantin menghadapi bale pawiwahan untuk natab banten pawiwahan sadampati. Sebelumnya pengantin dikalungi bunga.
Setelah natab, telur bebek dikupas dan diberikan makan kepada pengantin; pengantin mejaya-jaya, terus muspa, mabija, mawangsuh pada. Pandita memberikan dharma wacana tentang susila pengantin kepada kedua mempelai. Pandita mapuja banten yang ada di kamar tidur pengantin.

Urutan Upacara Pernikahan
Upacara di rumah pengantin wanita:

Masewaka / melamar
Madik – Meminang
Mabeakala
Mepamit di mrajan / sanggah


Upacara di rumah pengantin lelaki:

Mareresik
Mapiuning di Sanggar Surya
Upacara suddi-wadhani
Mabeakala
Mapadamel
Metapak oleh kedua orang tua
Mejaya-jaya
Ngaturang ayaban
Natab peras sadampati
Pemuspaan
Nunas wangsuhpada/ bija


Nb.
madelokan (kedua mempelai pulang menjengguk keluarga wanita, biasanya dilaksanakan setelah H+3 Pernikahan)

by cakepane.blogspot

Posted In artikel klir bali | 0 comments | Links to this post
Reactions:
Hari Baik Berhubungan Intim
at 5:21 AM | Posted by pasupati umaseh
Hari Baik Berhubungan Intim

Adapun untuk “Asanggama (berhubungan badan)” haruslah dipilh juga hari baiknya, ini bertujuan untuk menurunkan putra yang “Suputra Mahotama” , penurut, pintar, berbakti pada orang tua, murah rejeki dan berwibawa. bila tidak maka keturunan yang akan terlahir akan menyebabkan kesusahan bagi keluarga dan lingkungannya.

adapun hari yang paling baik untuk berhubungan badan adalah

Soma Umanis,
Budha Pon
Sukra Pon


Hari - hari yang mesti dihindari adalah

Anggara Paing,
Redite Wage,
Anggara Wage,
Budha Kliwon,
Wrespati Paing,
Saniscara Kliwon (tumpek)
Purnama dan Tilem
Saat weton ( hari Otonan / Petemuan Otonan) suami / istri.
Luang (Urip Saptawara + Urip Pancawara = Ganjil )


Selain itu adapun Hari – hari yang mesti dihindari adalah;

“Purwanin dina” tidak baik melakukan pekerjaan / membuat dewasa, yaitu ;
Anggara Klion / anggarkasih,
Budha Klion, Sukra Wage,
Saniscara Klion / Tumpek.
“Purwanin Sasih” tidak baik melakukan pekerjaan / membuat dewasa, yaitu ; tanggal dan panglong ping 6, 8, 14.


“Pati Pata” sangat tidak baik memulai sesuatu pekerjaan / memulai dewasa, yaitu;

Juli / Kasa tanggal 10,
Agustus / Karo tanggal 7,
September / Katiga tanggal 3,
Oktober / Kapat tanggal 4,
November / Kalima tanggal 8 panglong 10,
Desember / Kanem tanggal 6 panglong 8,
Januari / Kapitu tanggal 11 panglong 11,
Februari / Kaulu tanggal 13 panglong 13,
Maret / Kasanga tanggal 7 panglong 6,
April / Kadasa tanggal 6 panglong 6,
Mei / Jyesta tanggal 1,
Juni / Sadha tanggal 4


“Dagdig Karana” Tidak baik membangun Karya, yaitu;

Redite tanggal 2,
Soma tanggal 1,
Anggara tanggal 10,
Budha tanggal 7,
Wrespati tanggal 6,
Sukra tanggal 2
Saniscara tanggal 7


“Pati Paten” Semua Karya dan Asanggama teramat dilarang, yaitu;

Eka Sungsang nuju Indra,
Dwi Tambir nuju Sri,
Tri Kaulu nuju Uma,
Catur Wariga nuju Kala,
Panca Pahang nuju Yama,
Sad Bala nuju Brahma,
Sapta Kulantir nuju Rudra,
Asta Langkir nuju Uma,
Nawa Uye nuju Guru,
Dasa Sinta nuju Rudra


“Kala Mertyu” sangatlah buruk, karena sangat berbahaya. dilarang untuk bersenggama juga, yaitu;

Redite Medangkungan,
Anggara Wayang,
Budha Sinta /Pagerwesi,
Wrespati Taulu,
Sukra Pujut,
Saniscara Medangsia


“Kala Ngruda” tidak baik untuk memulai suatu pekerjaan

Soma Umanis Sungsang,
Soma Paing Menail,
Redite Pon Dukut



demikian dulu info mengenai hari baik dan buruk dalam melaksanakan “Asenggama / berhubungan intim” hendaknya di patuhi karena ini merupakan berdasarkan perhitungan Wariga – Dewasa. semoga bermanfaat.

by http://umaseh.com

Posted In Jyotisa Wariga Dewasa AYu | 0 comments | Links to this post
Reactions:
Pemilihan Hari Baik Untuk Pernikahan
at 5:13 AM | Posted by pasupati umaseh
Pemilihan Hari Baik Untuk Pernikahan

dibali, upaca pernikahan / pawiwahan sangatlah di sakralkan. karena dari sinilah seseorang akan memulai kehidupan barunya sesuai dengan tujuan agama dan tujuan pernikahan itu sendiri. berkenaan dengan hal tersebut diperlukan hari baik untuk memperlancar proses pernikahan serta pencapain tujuan yang dimaksud.

adapun hari baik yang biasa digunakan dibali berdasarkan Wariga – Dewasa, dimana ada hari – hari yang sangat baik untuk melaksanakan upacara dan ada juga hari yang harus di.hindari dalam pelaksanaan upacara pernikahan tersebut.

berikut hari baik yang biasa dipilih dalam rangkan pelaksanaan upacara Pernikahan / pawiwahan:

Pernikahan menurut Sapta Wara;

Redite / Minggu = Buruk
Soma / Senin = Menemukan Kebahagiaan
Anggara / Selasa = Sengsara
Budha / Rabu = Sangat Baik
Wrespati / Kamis = Kinasihaning Jana
Sukra / Jumat = Berbahagia, Mewah
Saniscara / Sabtu = Percekcokan, sengsara



Agar rukun dan berbahagia, pilihlah ;

hari “Senin Wage tanggal ping 1”, maka kerahayuan, kebahagiaan serta putra yang luih utama akan diperoleh.
hari “Rabu Pon tanggal ping 10”, maka kebahagiaan akan menyelimuti keluarga anda.



Rumus Pemilihan Hari Baik Pernikahan Menurut Tri Pramana:
(Urip Saptawara + Urip Pancawara + Urip Sadwara Suami & Istri) : 16. sisa;

= Bergejolak, mesti tahan uji.
= Selalu menghadapi kesulitan, Banyak pengeluaran
= Selalu kecewa
= Sulit mendapatkan keturunan
= terus mengalami kemajuan, rejeki berlimpah, meningkat terus
= Penderitaan
= Meningkat tetapi sangat lambat
= Serba kekurangan
= Mewah, kaya raya tetapi sering ricuh dan perebutan kekayaan
= Berwibawa
= Selalu dalam keadaan puas
= Murah rejeki
= Langgeng, panjang umur
= Berbahagia
= Teramat Buruk, sering mengalami kesusahan
= Selalu Rukun


Pemilihan Hari Pernikahan Menurut Bulan / Sasih

Juli / Kasa Shrawana, = Buruk, anak sakit – sakitan
Agustus / Karo, Bhadrapada = Buruk, Sengsara
September / Katiga, Asuji = Banyak memiliki keturunan
Oktober / Kapat, Kartika = murah rejeki
November / Kalima, Margasirsa = Berlimpah, mewah
Desember / Kanem, Pausya = Buruk, susah memiliki keturunan
Januari / Kapitu, Magha = Dirgayusa, langgeng
Februari / Kaulu, Phalguna = Serba kekurangan
Maret / Kasanga, Caitra = Sangat Buruk, penuh penderitaan
April / Kadasa, Waisyaka = Sangat Baik, Berbahagia, berwibawa
Mei / Jyestha = Buruk, hidup susah
Juni / Sadha = Buruk, Serba kekurangan


Pemilihan Hari pernikahan berdasarkan Penanggal / Panglong (dimulai setelah hari Purnama/Tilem);

= Menemukan kebahagiaan
= Berkecukupan
= Banyak keturunan
= Suami lekas meninggal
= Menemukan kebahagiaan, langgeng
= menemui kesengsaraan
= menemukan kerukunan
= Sangat Buruk, menemukan kematian
= Sangat Buruk, sangat sengsara
= murah rejeki
= serba kekurangan
= menemukan kesusahan
= mewah, berlimpah
= sering cekcok, penuh dengan pertengkaran, keributan
= sangat teramat buruk.


Amerta Yoga = sangat biaik melaksanakan Manusa Yadnya, adapun hari yang dimaksud antara lain;

Soma Klion Landep
Soma Umanis Taulu
Soma Wage Medangsia
Soma Klion Krulut
Soma Umanis Medangkungan
Soma Paing Menail
Soma Pon Ugu
Soma Wage Dukut


Dewa Mentas = Hari baik untuk semua jenis pekerja, Purnama nemu Wrespati.

selain itu dapat juga memilih hari lainnya dengan mempertimbangkan hari – hari diatas, tentunya juga meminta pertimbangan para tetua adat dan sulinggih.


PERINGATAN!!!
Jangan sesekali Melaksanakan Pernikahan pada hari – hari tertentu karena sangat teramat buruk, bisa menyebabkan Kesusahan, pertengkaran, sampai kematian. adapun hari- hari tersebut diantaranya;

“hari atau Wuku yang berisi RANGDA TIGA”, seperti Wuku; Wariga, Warigadean, Pujut, Pahang, Menail, Prangbakat.
“Uncal Balung” dari Anggara Wage Galungan (Penampahan Galungan) sampai Budha Klion Pahang ( Pegat Uakan).
“Mrta Papageran” Sangat buruk, yaitu; Saniscara / Sabtu nemu Purnama atau Yama.
“Kalebu Rau” Sangat buruk, yaitu; Soma / Senin nemu Tilem atau Beteng.
“Purwanin dina” tidak baik melakukan pekerjaan / membuat dewasa, yaitu ; Anggara Klion / anggarkasih, Budha Klion, Sukra Wage, Saniscara Klion / Tumpek.
“Purwanin Sasih” tidak baik melakukan pekerjaan / membuat dewasa, yaitu ; tanggal dan panglong ping 6, 8, 14.


demikian dulu sekilas infonya, moga bermanfaat.
by http://umaseh.com

Posted In Jyotisa Wariga Dewasa AYu | 0 comments | Links to this post
Reactions:
Hari Raya Galungan lan Kuningan
Monday, May 10, 2010 at 6:25 AM | Posted by pasupati umaseh
HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN

Hari raya Galungan yang biasanya dirayakan dengan penuh kemeriahan oleh masyarakat Hindu di Indonesia, khususnya di Bali. Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku “Dungulan” . Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.

Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali.

Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.

Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
“Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya” .
Artinya: Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.

Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.

Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun.

Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah “Dewa Sraya” — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.

Makna Filosofis Galungan

Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.

Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.

Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:
“Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep “
Artinya: Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.

Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan me-nangnya dharma melawan adharma.

Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. adapun urutan acara tersebut adalah;

Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci.
Sugihan Bali pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.
Penyekeban Galungan pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan “anyekung jñana”, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan. dikatakan penyekeban galungan karena saat itu warga bali sudah memulai persiapan upacara, yaitu nyekeb buah2an.
Penyajaan Galungan pada hari Senin Pon Dungulan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, "Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi".
Penampahan Galungan pada hari Anggara Wage wuku Dungulan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri. pada hari ini masyarakat bali biasanya menyembelih hewan kurban untuk perlengkapan upacara.
Hari Raya GALUNGAN pada hari Buda Klion Dunggulan, saat ini puncak upacara. masyarakat bali memulai sembahyang dari rumah setelah itu ke pura2 di sekitar wilayah tempat tinggalnya.
Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.
Pemaridan Guru pada hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
Penampahan Kuningan pada hari Jumat Wage Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran).
Keesokan harinya Hari Raya KUNINGAN, Sabtu Kliwon. Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksana-kan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara "diceritakan" kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga).

Demikianlah makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut pelaksanaan upacaranya.



Macam-macam Galungan
Meskipun Galungan itu disebut "Rerahinan Gumi" artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

Galungan
Adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan "Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan." Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.

Galungan Nadi
Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober.

Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah. Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.

Galungan Nara Mangsa

Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut:
"Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa ngaran."
Artiny a:
Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya.

Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai berikut:
“Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yan mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah”.
Artinya:
Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.

Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan
"Dewa Mauneb bhuta turun"
artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir.

Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen "tumpeng Galungan". Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.

Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya diilustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan adharma. Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama.

Di dalam hasil studinya yang terakhir (2005), Ida Bagus Gede Agastia merumuskan bahwa Galungan Naramangsa adalah apabila:

Tilem kapitu bertepatan dengan wuku dungulan.
Tilem kasanga bertepatan dengan wuku dungulan.
Tilem pada rah 9, bertepatan dengan wuku dungulan.
Tilem pada tenggek 9, bertepatan dengan wuku dungulan


rumusan itu berimplikasi pada penetapan kapan pertemuan antara Galungan (dungulan) dengan tilem kapitu (hari Raya Siwaratri), tilem kasanga (ksetra), rah 9 (bilangan puluhan tahun saka), dan tenggek 9 (bilangan satuan tahun saka) yang kemudian akan ditetapkan sebagai Galungan Naramangsa.

rumusan tersebut, apabila ditinjau dari ilmu wariga (uriga) akan menghasilkan kapan pertemuan antara Galungan dengan Nyepi dan Siwaratri disebut Galungan Naramangsa.

Apabila dicermati, rumusan yang dihasilkan oleh Ida Bagus Gede Agastia akan menghasilkan beberapa tahun sekali terdapat Galungan Naramangsa. Sebagai contoh tahun 1990 telah dilaksanakan Galungan Naramangsa dan tahun 2005 juga harus disebut Galungan Naramangsa. Jadi dalam kurun waktu 15 tahun kurang atau lebih kita akan merayakan Galungan Naramangsa. Sementara apabila kita mengikuti rumusan I Gusti Gede Goda, maka menurut Mariana (2005), dalam kurun waktu 100 tahun mendatang tidak akan terjadi apa yang disebut Galungan Naramangsa, karena posisi tilem pada pangalantaka (peralihan dalam wariga) Eka Sungsang ke Paing terjadi dua posisi, yaitu pada Radite (Minggu) Paing Dungulan, tepatnya tanggal 13 Maret 2078 dan pada Wrahaspati (Kamis) Umanis Dungulan, tepatnya pada tanggal 10 Maret 2005 dan 27 Maret 2036.

Kalau ternyata Galungan yang akan datang adalah Galungan Naramangsa maka kita harus melaksanakan tata caranya sebagai berikut,

melaksanakan tapa brata, yoga, samadhi,
tidak melakukan pemasangan penjor,
tidak membuat tumpeng galungan, namun membuat caru banten cahcahan dicampur dengan keladi dan beralaskan daun tlujungan.


Kalau ini dilaksanakan maka akan ayu seluruh jagat Bali, kalau tidak dilaksanakan, maka semua desa akan mengalami wabah penyakit (gering) bertahun-tahun, demikian menurut lontar Sundarigama. Boleh percaya, boleh tidak, itulah kata lontar.


Galungan di India
Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata "Wijaya" (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata "Galungan" dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya "menang".

Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula "Hari Raya Dasara". Inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam).

Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas.

Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.

Perayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma.

Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman.

Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.

Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu "sakti" atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin.

Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.

Rahajeng Nyanggra Rahinan Jagat Galungan lan Kuningan, mogi para semeton sami nemu bahagia.

by cakepane.blogspot - berbagai sumber

Posted In artikel klir bali | 0 comments | Links to this post
Reactions:
JAPA - Menyebut Nama Tuhan
at 6:03 AM | Posted by pasupati umaseh
JAPA MALA RUDRAKSA (TASBIH GENITRI) Menyebut Nama Tuhan

Manusia diciptakan memiliki unsur pembentuk yang sama dengan makhluk lainnya, baik dengan tumbuhan maupun hewan, bahkan dengan mahkluk terkecil sekalipun. Semua mahkluk dibentuk oleh 5 (lima) unsur utama ; Tanah, Air, Api, Udara dan Akasa (ruang hampa), sama persis dengan unsur2 utama yang membentuk alam semesta.

Lalu apa yang membedakan manusia dari mahkluk lainnya?

hanya satu kelebihan manusia, yaitu dilengkapi dengan tenaga hidup - Hati Nurani (Budhi). Tumbuhan hanya memiliki satu tenaga yaitu Bayu, tenaga untuk tumbuh dan berkembang secara biologis. Binatang dianugrahi Tenaga Bayu dan Suara (sabda). Suara yang membuat binatang mampu berkomunikasi satu sama lainnya. Hanya manusia yang memiliki Budhi. Dengan budhi manusia memiliki kebebasan luas untuk mengetahui dan menetapkan baik dan kurang baik. Dengan budhi pula manusia mampu meningkatkan spiritualitas mendekati kesempurnaan, tapi sekaligus budhi yang tertutup membuat manusia jatuh pada jurang kenestapaan lahir dan bathin.

Pada jaman yang berkembang sangat cepat, baik secara budaya maupun teknologi, banyak kesenangan duniawi yang mampu memanjakan kepuasan indera manusia. Kesenangan duniawi ini semakin menjauhkan manusia dari harkatnya untuk menjadi MANUSIA. Karena sibuk mencari kepuasan diluar dirinya, manusia lupa menghargai (respect) dirinya sendiri, lupa dengan kemanusiaannya.

Disela-sela itu, ada satu dua tersembul pelatihan-pelatihan meditasi dan spiritual yang mampu mencuri perhatian sebagian kecil populasi manusia. Beberapa gelintir manusia itu sibuk mencari kedalam dirinya sendiri, mencari sesuatu yang tidak mungkin ditemui jawabannya. Tapi paling tidak, mereka mulai menghargai dirinya sendiri. Mulai mengkonsumsi benda2 yang memang secara natural hanya yang dibutuhkan saja. Mulai belajar melihat mahluk lain tak ada bedanya dengan dirinya. Mulai belajar lebih banyak memberi kepada lingkungan, daripada merampasnya.

Ada satu cara ampuh yang mampu mengendalikan perilaku manusia, mengarahkan Hati Nurani (budhi) selalu terjaga, baik pada saat menghadapi kebahagiaan yang luar biasa, maupun pada saat menghadapi godaan yang menyesatkan, yaitu Menyebut Nama Tuhan. Bagaimana caranya supaya selalu berpikir yang baik, selalulah menyebut nama Tuhan. Bagaimana caranya supaya selalu berkata dan berbuat yang sesuai dengan nilai2 kemanusiaan, selalulah menyebut nama Tuhan. Bagaimana caranya mengendalikan sifat rakus pada saat menerima rejeki yang berlimpak, selalulah menyebut Nama Tuhan.

Puji dan Syukur dalam tarikan nafas, selalu bersama Tuhan pada setiap langkah merupakan senjata pemungkas yang sangat ampuh untuk menghadapi segala macam hambatan pada jaman kaliyuga ini. Mari biasakan ber Japa, menyebut nama Tuhan berulang-ulang. Semoga Tuhan selalu menyertai, menuntun kita pada Cinta Kasih Sejati.


PENGENALAN DAN ETIKA JAPA MALA

JAPA = mengulang-ulang kata suci atau bertuah atau mantra. Mengulang tersebut dilakukan hanya dalam ingatan (mental) yang disebut manasika japa, dengan berbisik disebut upamsu japa, dengan bersuara yang terdengar maupun keras disebut wacika japa, dan ada juga dilakukan dengan gerakan atau tulisan/gambar.
MALA = rangkaian biji-bijian, batu, permata, mutiara, mute, merjan, spatika, atau butiran yang terbuat dari keramik, gelas, akar lalang, kayu, seperti kayu tulasi tulsi) dan cendana. Kata mala juga padanan kata tasbih dan rosary. Tasbih yang utama adalah tasbih yang terbuat dari rangkaian biji buah rudraksa.
RUDRAKSA = rudra berarti Siwa dan aksa berarti mata, sehingga arti keseluruhannya berarti mata Siwa, yang sejalan dengan mitologinya bahwa di suatu saat air mata Siwa menitik, kemudian tumbuh menjadi pohon rudraksa menyebar di Negeri Bharatawarsa dan sekitarnya, Malaysia bahkan sampai ke Bumi Nusantara, yang popular dengan nama GANITRI atau GENITRI. Dalam bahasa latinnya disebut ELAEOCARPUS GANITRUS. Ada tiga macam jenis ganitri dan 4 jenis agak berlainan yang dinamai KATULAMPA.
RUDRAKSA = adalah buah kesayangan Siwa dan dianggap tinggi kesuciannya. Oleh karena itu rudraksa dipercaya dapat membersihkan dosa dengan melihatnya, bersentuhan, maupun dengan memakainya sebagai sarana japa (Siva Purana). Sebagai sarana japa atau dapat dipakai oleh seluruh lapisan umat atau oleh ke-empat warna umat, maupun oleh pria atau wanita tua ataupun muda.


Selain pengaruh spiritual/religius tersebut, kepada pemakai rudraksa juga dapat memberikan efek biomedis dan bio-elektomagnetis (energi), secara umum dapat dikatakan dapat memberi efek kesehatan, kesegaran maupun kebugaran. Hal ini terungkap dari buku tentang penyhelidikan secara mendalam terhadap keistimewaan rudraksa tersebut di India.

Untuk mendapat daya-guna sampai maksimal, tentu harus memenuhi etika dan syarat, apalagi untuk memperoleh manfaat-manfaat khusus, berkenaan dengan sifat-sifat tertentu yang dimiliki rudraksa sesuai dengan bentuk, rupa serta jumlah mukhi (juringan)-nya. Secara umum dapat disebutkan bahwa rudraksa harus tidak dipakai / dibawa ke WC, melayat, turut kepemakaman/crematorium, dan tidak dalam keadaan cuntaka (sebel), maupun sebel pada diri wanita.

Sebelum dimanfaatkan sebaiknya tasbih genitri itu dipersembahkan di pura, kemudian dimohonkan keampuhannya denagan diperciki tirtha, yang berarti pemakaiannya melalui prosedur ritual. Hal itu ditempuh karena ber-japa dengan tasbih genitri bukan sekedar untuk menghitung-hitung, memakai rangkaian japa-mala rudraksa juga bukan sekedar asesori atau sebagai atribut status quo. Dengan ritual itu ingin dicapai kemantapan bathin yang berdimensi magis, dan memperlakukan japa-mala-rudraksa itu sebagai sarana sakral, di samping untuk kesehatan.

Yang dimaksud dengan etika berjapa, adalah termasuk hal-hal yang akan disebutkan berikut ini. Selama berjapa jagalah jangan sampai bagian bawah tangkainya terkulai begitu saja, apalagi sampai menyentuh tanah. Untuk itu perlu tangan kanan yang meniti butir genitri terangkat setinggi ulu hati dan bagian yang terjuntai ditadah dengan telapak tangan kiri. Ada juga dianjurkan, agar selama berjapa rangkaian rudraksa itu diperlakukan tertutup, bahkan diperlakukan dalam kantung khusus.

Melakukan japa dengan tasbih genitri sebaiknya dengan sikap bathin yang tenang, serta terpusatkan pada tujuan mantra, selagi ibu jari tangan kanan menggerakkan mala dibantu jari tengah dan satu persatu biji rudraksa itu akan melangkahi bagian ujung jari manis.

Jari telunjung maupun jari kelingking tidak diberikan tugas dan tidak menyentuh biji rudraksa.

Mala yang terdiri dari 108 biji rudraksa diuntai dengan benang katun/kapas, memiliki puncak yang diberi nama MERU. Rangkaian Japamala rudraksa ada juga diuntai dengan kawat, bahkan deberi berbagai variasi seperti emas, perak, tembaga, manik-manik yang berwarna-warni sesuai dengan “warna” pemakainya.

Melakukan japa mulai dari mala pertama di bawah Meru.... dan terus berakhir pada mala yang ke 108 (terakhir). Kalau hendak melanjutkan lagi, maka mala yang terakhir tadi dianggap yang pertama digerakkan kembali (balik) arah, pantang melewati/menyebrangi Meru. Demikianlah berulang-ulang bolak-balik sampai mencapai jumlah yang dikehendaki.

MANTRA UNTUK BERJAPA

Kebiasaan berjapa dengan mala atau tasbih bagi umat Hindu di Indonesia nyaris tak dikenal, kecuali dikenal hanya dikalangan sulinggih yang memakainya sebagai pelengkap atribut dalam berpuja. Bahkan dikalangan beberapa generasi Hindu. Jika melihat umat agama lain sedang berjapa dengan mala/tasbih, tidak merasakan bahwa berjapa itu merupakan tradisi miliknya juga. Barulah pada penghujung abad XX ini, umat Hindu Indonesia melebarkan cakrawalanya terutama ke pusat kelahiran agama Hindu, dapat memungut kembali butir-butir Japa-mala yang sudah lama tercecer untuk dimanfaatkan kembali. Tidaklah berlebihan disebutkan di sini, bahwa kini sudah saatnya umat Hindu mengambil manfaat ber-japa dengan mala terutama yang terbuat dari rudraksa atau genitri.
MANTRA adalah kata suci atau bertuah yang dapat memberi pengaruh atau getaran yang bersifat magis, apabila disebutkan maupun dijapakan, baik secara ingatan (mansika), berbisik (upamsu), maupun dengan ucapan (wacika). Kata ataupun kata-kata bertuah itu antara lain:

BIJA AKSARA = Yang disebut juga BIJA MANTRA, adalah huruf,atau suku kata, ataupun unsur suku kata itu sendiri yang tak terpisahkan dari tuahnya yang bergetar abadi
NAMA-NAMA TUHAN = Bukan Tuhannya yang banyak. Tuhan hanya satu, tiada duan-Nya, Melainkan Brahman para cendekia yang bijaksana menyebut dengan berbagai nama.
PUJA STAWA = yang juga memiliki “nilai” mantra.
MANTRA-MANTRA: Dengan memperbandingkan Bija aksara yang kita sudah dikenal dari dulu di Indoenesia dengan Bija mantra yang tersebut dalam buku-buku terbitan India boleh jadi Bija aksara itu juga bisa dipakai untuk mantra-mantra dalam ber-japa- mala.Yang jelas adalah Pranawa OM, Ongkara itu sendiri sebagai Udgita, disamping yang lain-lain seperti: dwi aksara/rwa bhineda, tri aksara, panca aksara, dasa aksara, dasa aksara-bayu dan bija aksara lain yang menjadi pegangan para Husadawan. Ketidak tegasan ini tentu akibat dari pada “tidak” atau “belum” terbiasanya umat Hindu di Indonesia ber-japa-mala.


Tanpa bermaksud meremehkan diri, baiklah kita kutipkan beberapa mantra dari buku-buku terbitan India.

OM : Tuhan itu sendiri, merupakan sumber serta asal muasal yang ada, sehingga wajib kita mendekatkan diri kepadaNya, sembah sujud kepadaNYa dengan berserah diri sepenuhnya.... dstnya.
KSHRAUM : bija mantra Narasimha (Narasinga) untuk mengusir, rasa takut dan cemas.
AIM (ENG) : bija mantra Saraswati, sebagai perkenan/restu bagi remaja putra-putri agar pandai dalam berbagai cabang pelajaran.
SHRI(SRI) :bija mantra Dewi Laksmi (Laksmi), yang di Indonesia dikenal dengan nama Dewi Sri Mantra ini di-japa-kan seseorang untuk menuju kemakmuran dan kesenangan.
HRIM : bija mantra Bhuwana-ishwari, atau disebut juga mantra Maya.Kegunaannya diterangkan dalam Dewi Bhagwatma, bahwasanya seseorang bisa menjadi pemimpin dan mendapatkan seluruh yang diinginkan.
KLIM : bija mantra Raja Kama atau Dewa Kama untuk pemenuhan kemauan seseorang.
KRIM :Bija mantra Dewi Kali atau Durga untuk menghancurkan musuh dan memberikan kebahagiaan.
DUM : Bija mantra Durga, marupakan ibunya cosmos untuk mendapatkan perlindungan dari padaNya, serta memberikan apa saja yang diinginkan manusia.
GAM, GLAUM/GAM GLAUM : Bija mantra Ganesha untuk menyingkirkan rintangan serta mengembangkan sukses. Ga berarti Ganesha, La berarti sesuatu yang dapat meresap dan Au berarti cerdas atau daya pikir yang cemerlang.
LAM : Bija mantra Pertiwi (Pritvi), sebagai pertolongan yang menjamin hasil panen baik.
YAM : Bija mantra Bayu (Vayu), untuk mejamin hujan.

Masih banyak lagi bija mantra yang lain, terutama yang bersifat khusus, namun yang disajikan di atas sudah memadai, apalagi ditambah nama-nama Tuhan beserta ista dewata, awatara, maupun puja stawa, antara lain:

OM SRI MAHA GANAPATAYE NAMAH;
OM NAMAH SIWAYA;
OM NAMO NARAYANAYA;
HARI OM;
HARI OM TAT SAT;
OM SRI HANUMAN NAMAH;
OM SRI SARASWATYE NAMAH (OM SRI SARASWATYAI NAMAH);
OM SRI DURGAYAI NAMAH;
OM SRI LAKSHMYAI NAMAH;
OM SO HAM;
OM TAT TWAM ASI;
OM AHAM BRAHMAN ASMI
OM HARE RAMA HARE RAMA RAMA RAMA HARE HARE; HARE KRISHNA HARE KRISHNA KRISHNA KRISHNA HARE HARE;
OM SRI RAMA; JAYA RAMA; JAYA JAYA RAMA.

Puja Gayatri atau Sawitri juga dapat di-japa-kan dengan sangat populer dan mahautama. Demikian juga Mahamertyunjaya.
OM TRYAMBAKAM YAJAMAHE SUGANDHIM PUSHTIVARDHANAM;
URVAARUKAMIVA BANDHANAAN MRITYORMUKSHEEYA MAAMRITAAT.

Penjelasan:
Mantra Maha-Mertyunjaya (Mrityunjaya) adalah mantra untuk pang-hurip-an (anuggrah jiwa-kehidupan). Pada saat-saat kehidupan sangat komplek dewasa ini, kecelakaan karena gigitan ular, sambar petir, kecelakaan kendaraan bermotor, kebakaran, kecelakaan di air dan udara dan lain-lainnya.

Disamping itu, mantra tersebut mempunyai daya perlindungan yang besar, penyakit-penyakit yang dinyatakan tak tertangani secara medis (dokter), dapat diobati dengan mantra ini, apabila mantra di-uncar-kan (disebutkan secara manasika, upamsu maupun vacika) dengan sungguh-sungguh, jujur dan taat. Mantra tersebut merupakan senjata melawan penyakit-penyakit serta menaklukan kematian.

Mantra Mrityunjaya adalah juga mantra- moksha, mantra-Nya Siwa. Selain memberi berkah mohksha, mantra itu juga memberi berkah kesehatan (Arogya), panjang umur (Dirgha Yusa), kedamaian (shanty), kekayaan (Aiswarya), kemakmuran (Pushti), dan memuaskan (Tushti)

Pada saat ulang tahun, mantra ini di-japa-kan sebanyak 100 ribu kali atau paling tidak 50.000 kali, haturkan makanan kepada orang-orang miskin dan orang sakit, akan mendapat berkah seperti tersebut di atas

by cakepane.blogspot - berbagai sumber

Posted In do'a Mantra | 0 comments | Links to this post
Reactions:
Kajian Nilai dan Makna Filosofis Kisah Mahabharata
at 5:57 AM | Posted by pasupati umaseh
Kajian Nilai dan Makna Filosofis Kisah Mahabharata

MAHABHARATA merupakan sastra klasik India yang besar sekali pengaruhnya terhadap khasanah sastra Jawa Kuna, disamping Ramayana. Mahabharata disebut juga Astadasaparwa karena ceritanya dibagi kedalam 18 parwa. kisah Mahabharata, adalah yang terbesar, terpanjang dan salah satu dari dua epos Sansekerta utama dari India kuno, yang lainnya adalah Ramayana. Dengan lebih dari 74.000 ayat, ditambah ayat-ayat prosa yang panjang, atau 1,8 juta kata dalam jumlah, adalah salah satu puisi epik terpanjang di dunia.

Ini berisi delapan belas Parwa (astadasaparwa) atau bagian, yaitu.,

Adi-Parwa =Pendahuluan, kisah Raja Manu dan lahir serta dibesarkan Keturunan Manu (Pandawa-Korawa).
Sabha-Parwa =Pandawa membangun istana indraprasta, permainan judi, dan hidup di pengasingan. Diceritakan pula Saat yudistrira menyelamatkan para saudaranya dari kematian diuji dengan pertanyaan tentang Dharma kehidupan oleh Dewata.
Wana-Parwa Dua belas tahun di pengasingan di hutan
Wirata-Parwa Tahun dalam pengasingan dihabiskan di kerajaan Wirata.
Udyoga-Parwa negosiasi serta Persiapan perang
Bhishma-Parwa Bagian pertama dari pertempuran besar, dengan Bisma sebagai komandan untuk Kaurawa. Dan juga bagian dimana Bhagawad-gita di turunkan oleh Sri Khrisna kepada sang arjuna, yang disaksikan oleh kusir kereta prabu Dhritarastra yang diangkat menjadi mentri raja, beliau bernama Sanjaya.
Drona-Parwa Pertempuran berlanjut, denga n Drona sebagai panglima.
Karna-Parwa Pertempuran lagi, dengan Karna sebagai panglima.
Shalya-Parwa Bagian terakhir dari pertempuran dengan Salya sebagai panglima.
Sauptika-Parwa Bagaimana Ashwattama dan sisanya Kaurawa membunuh tentara Pandawa dalam tidur mereka sehingga meninggalnya Panca kumara putra dari panca Pandawa.
Stri-Parwa Gandari dan para istri ksatria meratapi suami mereka yang meninggal / Orang Mati.
Shanti-Parwa Yudistira menjadi Raja Hastina
Anusasana-Parwa Final instruksi dari Bisma kakek dari Pandawa dan Kowara
Ashwamedhika-Parwa Upacara kerajaan ashwamedha yang dilakukan Oleh Yudistira.
Ashramawasika-Parwa Dretarastra, Gandari dan Kunti pergi ke ashram, dan akhirnya meninggal Di Hutan.
Mausala-Parwa pertikaian antara bangsa Yadawa karena senjata mausala
Mahaprasthanika-Parwa Bagian pertama perjalanan "besar" menuju kematian dari Yudistira dan saudara-saudaranya.
Swargarohana-Parwa Pandawa kembali ke dunia spiritual (swarga).


Buku indah ini disusun oleh Sri Byasa (Krishna Dwaipayana) yang merupakan kakek dari pahlawan epos. Dia mengajarkan epik ini kepada anaknya Suka dan murid Wesampayana beserta murid lainnya. Raja Janamejaya, anak Parikesit, cucu dari para pahlawan kisah, melakukan pengorbanan (yadnya) besar. epik itu dibacakan oleh Wesampayana untuk Janamejaya atas perintah Byasa. Kemudian, Suta membacakan Mahabharata sebagai dilakukan oleh Wesampayana pada Janamejaya, untuk Saunaka dan lain-lain, selama Yadnya yang dilakukan oleh Saunaka di Naimisaranya, yang dekat Sitapur di Uttar Pradesh.

Sangat menarik untuk mengingat pembukaan dan penutupan baris epik ini. ." Ini dimulai dengan: "Byasa menyanyikan tentang kebesaran dan kemegahan tak terlukiskan Tuhan Wasudewa, yang adalah sumber dan dukungan bagi semuanya, yang abadi, tidak berubah, diri bercahaya, yang merupakan yang menjiwai semua makhluk, serta kejujuran dan kebenaran Pandawa. "

Berakhir dengan: "Dengan tangan terangkat, aku berteriak dengan suara keras, tetapi sayangnya, tidak ada yang mendengar kata-kata saya yang dapat memberi mereka kedamaian, kegembiraan dan kebahagian Abadi. orang dapat mencapai kekayaan/kemakmuran dan semua objek keinginan yaitu melalui Dharma (kebenaran). Mengapa orang tidak melakukan Dharma? Seseorang tidak harus meninggalkan Dharma tanpa pengecualian, bahkan dengan risiko hidupnya.. Orang yang tidak melepaskan Dharma keluar dari gairah atau rasa takut atau iri hati atau demi menjaga satu kehidupan. dengan cara ini Bharata Gayatri… Renungkanlah (meditasi) setiap hari, ketika Anda hendak tidur dan ketika Anda bangkit dari tempat tidur setiap pagi. Anda akan mencapai segala sesuatu. Anda akan mencapai ketenaran, kemakmuran, umur panjang, kebahagiaan abadi, perdamaian abadi dan keabadian. "

Nilai yang terkandung dalam Astadasaparwa (Mahabharata)
Adapun nilai-nilai yang terkandung di dalam teks Astadasaparwa diantaranya adalah: Nilai ajaran dharma, nilai kesetiaan, nilai pendidikan dan nilai yajna (korban suci). Nilai-nilai ini kiranya ada manfaatnya untuk direnungkan dalam kehidupan dewasa ini.

Pertama, Nilai Dharma (kebenaran hakiki) ,
inti pokok cerita Mahabharata adalah konflik (perang) antara saudara sepupu (Pandawa melawan seratus Korawa) keturunan Bharata. Oleh karena itu Mahabharata disebut juga Maha-bharatayuddha. Konflik antara Dharma (kebenaran/kebajikan) yang diperankan oeh Panca Pandawa) dengan Adharma (kejahatan/kebatilan ) yang diperankan oleh Seratus Korawa. Dharma merupakan kebajikan tertinggi yang senantiasa diketengahkan dalam cerita Mahabharata. Dalam setiap gerak tokoh Pandawa lima, dharma senantiasa menemaninya. Setiap hal yang ditimbulkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan, menyenangkan hati diri sendiri, sesama manusia maupun mahluk lain, inilah yang pertama dan utama Kebenaran itu sama dengan sebatang pohon subur yang menghasilkan buah yang semakin lama semakin banyak jika kita terus memupuknya. Panca Pandawa dalam menegakkan dharma, pada setiap langkahnya selalu mendapat ujian berat, memuncak pada perang Bharatayuddha. Bagi siapa saja yang berlindung pada Dharma, Tuhan akan melindunginya dan memberikan kemenangan serta kebahagiaan. Sebagaimana yang dilakukan oleh pandawa lima, berlindung di bawah kaki Krsna sebagai awatara Tuhan. " Satyam ewa jayate " (hanya kebenaran yang menang).

Kedua, nilai kesetiaan (satya) ,
cerita Mahabharata mengandung lima nilai kesetiaan (satya) yang diwakili oleh Yudhistira sulung pandawa. Kelima nilai kesetiaan itu adalah: Pertama, satya wacana artinya setia atau jujur dalam berkata-kata, tidak berdusta, tidak mengucapkan kata-kata yang tidak sopan. Kedua, satya hredaya, artinya setia akan kata hati, berpendirian teguh dan tak terombang-ambing, dalam menegakkan kebenaran. Ketiga, satya laksana, artinya setia dan jujur mengakui dan bertanggung jawab terhadap apa yang pernah diperbuat. Keempat, satya mitra, artinya setia kepada teman/sahabat. Kelima, satya semaya, artinya setia kepada janji. Nilai kesetiaan/satya sesungguhnya merupakan media penyucian pikiran. Orang yang sering tidak jujur kecerdasannya diracuni oleh virus ketidakjujuran. Ketidakjujuran menyebabkan pikiran lemah dan dapat diombang-ambing oleh gerakan panca indria. Orang yang tidak jujur sulit mendapat kepercayaan dari lingkungannya dan Tuhan pun tidak merestui.

Ketiga, nilai pendidikan,
sistem Pendidikan yang di terapkan dalam cerita Mahabharata lebih menekankan pada penguasaan satu bidang keilmuan yang disesuaikan dengan minat dan bakat siswa. Artinya seorang guru dituntut memiliki kepekaan untuk mengetahui bakat dan kemampuan masing-masing siswanya. Sistem ini diterapkan oleh Guru Drona, Bima yang memiliki tubuh kekar dan kuat bidang keahliannya memainkan senjata gada, Arjuna mempunyai bakat di bidang senjata panah, dididik menjadi ahli panah.Untuk menjadi seorang ahli dan mumpuni di bidangnya masing-masing, maka faktor disiplin dan kerja keras menjadi kata kunci dalam proses belajar mengajar.

Keempat, nilai yajna (koban suci dan keiklasan) ,
bermacam-macam yajna dijelaskan dalam cerita Mahaharata, ada yajna berbentuk benda, yajna dengan tapa, yoga, yajna mempelajari kitab suci ,yajna ilmu pengetahuan, yajna untuk kebahagiaan orang tua. Korban suci dan keiklasan yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud tidak mementingkan diri sendiri dan menggalang kebahagiaan bersama adalah pelaksanaan ajaran dharma yang tertinggi (yajnam sanatanam).

Kegiatan upacara agama dan dharma sadhana lainnya sesungguhnya adalah usaha peningkatan kesucian diri. Kitab Manawa Dharmasastra V.109 menyebutkan.:
"Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kejujuran (satya), atma disucikan dengan tapa brata, budhi disucikan dengan ilmu pengetahuan (spiritual)"

Nilai-nilai ajaran dalam cerita Mahabharata kiranya masih relevan digunakan sebagai pedoman untuk menuntun hidup menuju ke jalan yang sesuai dengan Veda. Oleh karena itu mempelajari kita suci Veda, terlebih dahulu harus memahami dan menguasai Itihasa dan Purana (Mahabharata dan Ramayana), seperti yang disebutkan dalam kitab Sarasamuscaya sloka 49 sebagai berikut :
"Weda itu hendaknya dipelajari dengan sempurna, dengan jalan mempelajari itihasa dan purana, sebab Weda itu merasa takut akan orang-orang yang sedikit pengetahuannya"


Makna Filosofis Astadasaparwa (Mahabharata)

Tubuh manusia memiliki 10 organ (indriya), yaitu lima organ sensorik ( jinanendriyas) dan lima organ motorik ( karmendriyas), dan sebuah "antahkarana" atau organ/indera internal. Sedangkan organ sensorik dan motorikadalah organ eksternal (bahihkarana). Antahkarana berhubungan langsung dengan tubuh fisik. Antahkarana merupakan bagian intrinsik dari pikiran itu sendiri. Berkat kerja dari bagian inilah pikiran kita bisa merasakan perut yang kosong,dan kemudian merasa lapar. Begitu perut kosong, pikiran mulai mencari makanan, dan hal ini diekspresikan melalui aksi fisik. Jadi terdapat dua bagian, yang satu merupakan bagian intrinsik pikiran, dan satu bagian lagi adalah kesepuluh organ.

Yang mendorong terjadinya aktivitas adalah antahkarana. Antahkarana tersusun atas pikiran sadar (conscious) dan bawah sadar (subconscoius). Maka jika antahkarana menginginkan sesuatu, maka tubuh fisiklah yang bekerja menurut keinginan tersebut.

Dalam Sanskrit dikenal enam arah utama yang dinamakan "disha" atau "pradisha": Utara, Selatan, Timur, Barat, Atas, dan Bawah. Juga terdapat empat sudut yang dinamakan "anudisha": Barat Laut (iishana), Barat Daya (agni), Tenggara (vayu) dan Timur Laut (naerta). Jadi seluruhnya ada sepuluh.

Pikiran sesungguhnya buta. Dengan pertolongan "wiweka" (conscience/hati nurani) maka pikiran bisa melihat dan memvisualisasikan sesuatu. Jadi pikiran dapat dilambangkan dengan Dhritarastra (Seorang raja yg buta dalam kisah Mahabharata), dan daya fisik, yaitu kesepuluh organ dapat bekerja dalam sepuluh arah secara simultan. Jadi pikiran memiliki 10 organ X 10 arah = 100 ekpresi eksternal. Dengan kata lain, ke-100 putra Dhritasastra melambangkan seratus ekspresi eksternal ini.

Bagaimana dengan Pandawa?

Mereka melambangkan lima faktor fundamental dalam struktur manusia.

Sadewa/Sahadeva melambangkan faktor padat, mereprestasikan cakra muladhara (kemampuan untuk menjawab segala sesuatu).
Nakula pada cakra svadhisthana. Nakula berarti "air yang mengalir tanpa memiliki batas". "Na" berarti "Tidak", dan "kula" bararti "batas", melambangkan faktor cair.
Arjuna, melambangkan energi atau daya, faktor cahaya pada cakra manipura, selalu berjuang untuk mempertahankan keseimbangan.
Bhima, putra Pandu, adalah faktor udara "vayu", terdapat pada cakra anahata.
Terakhir adalah Yudhisthira, pada cakra vishuddha, dimana terjadi peralihan dari sifat materi ke sifat eterik.

Jadi pada pertempuran antara materialis dan spiritualis, antara materi kasar dan materi halus, Yudhisthira tetap tak terpengaruh."Yudhi sthirah Yudhisthirah" artinya "Orang yang tetap tenang/diam saat pertempuran dinamakan Yudhisthira".

Krsna terdapat pada cakra sahasrara. Jadi ketika kundalinii (Keagungan yang tertidur) terbangkitkan, naik dan menuju perlindungan Krsna dengan bantuan Pandawa, maka Jiiva (unit diri) bersatu dengan Kesadaran Agung. Pandawa menyelamatkan jiiva dan membawanya ke perlindungan Krsna.

Sanjaya adalah menteri-nya Dhritarastra. Sanjaya adalah wiweka(Nalar/pertimbangan). Dhritarastra bertanya kepada Sanjaya, karena ia sendiri tidak bisa melihatnya, "Oh Sanjaya, katakan padaku, dalam perang Kuruksetra dan Dharmaksetra, bagaimana keadaan pihak kita?"

Keseratus putra Dhritarastra, pikiran yang buta, mencoba menguasai jiiva, yang diselamatkan oleh Pandawa melalui pertempuran. Akhirnya kemenangan ada di pihak Pandawa, mereka membawa jiiva ke perlindungan Krsna. Inilah arti filosofis dari Mahabharata.

Kuruksetra adalah dunia tempat melakukan aksi, dunia eksternal, yang menuntut kita terus bekerja. Bekerja adalah perintah. "Kuru" artinya "bekerja", dan ksetra artinya "medan", Dharmaksetra adalah dunia psikis internal. Disini Pandawa mendominasi.
by cakepane.blogspot - berbagai sumber

Posted In artikel klir bali | 0 comments | Links to this post
Reactions:
Newer Posts Older Posts Home
Subscribe to: Posts (Atom)

Om Awighnam Astu
Om Awighnam Astu
ngobrol ma aQ
Labels

artikel klir bali (48)
Berita (24)
Bhagavad gita (18)
Bhisama (14)
do'a Mantra (3)
Ghanta Yoga (10)
Jyotisa Wariga Dewasa AYu (6)
karma phala (3)
Leak Bali (5)
Lontar Bali (36)
mantra (7)
meditasi (4)
nyepi (2)
panca yadnya (4)
renungan Dharma (1)
Srimad Bhagavatam (1)
Teologi dan Pelayanan Ilahi (1)
Tutur (36)
tutur sastra weda (7)
Veda (25)
warna (4)

Blog Archive

► 2011 (3)

▼ 2010 (237)
► December (12)
► November (5)
► August (20)
► July (29)
► June (5)
▼ May (17)
Perkawinan Beda Agama
Kawin Lari, salah satu alaternatif pernikahan Adat...
Pernikahan menurut pandangan Hindu Bali
Hari Baik Berhubungan Intim
Pemilihan Hari Baik Untuk Pernikahan
Hari Raya Galungan lan Kuningan
JAPA - Menyebut Nama Tuhan
Kajian Nilai dan Makna Filosofis Kisah Mahabharata...
Penciptaan Alam Semesta Menurut Veda
Penciptaan Alam Semesta Menurut ABRAMIC
Hukum Manu (Code of Manu)
Dewa, Tuhan atau siapakah diriMU???
Gambaran Umum mengenai PURA BESAKIH
Sejarah Singkat Pura Khayangan Jagat di Bali
Jalan menuju Penyatuan - Tutur kamoksan
Dasa Aksara sumber kekuatan alam
Cara memilih hari baik ala nak bali
► April (71)
► March (64)
► February (14)

About Me
My Photo

pasupati umaseh
berusaha sesimple mungkin, dan suka membantu.. paling tidak suka dibohongi

View my complete profile
My Blog List

Umaseh.com
4 jalan mencari Tuhan - Agama berasal dari kata “a” dan “gam”. A artinya tidak, gam artinya pergi, Parisada Hindu Dharma Pusat (1967 ; 9).[.....]
3 days ago
Sehat, bahagia dan sejahtera dengan Obat Herbal
Khasiat buah delima - Buah Delima (Punica Granatum) sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Tanaman ini seringkali di tanam di pekarangan rumah sebagaitanaman hias, tanaman obat...
2 months ago
bisnis jaya makmur
Mistik Bali: Ilmu Hitam di Bali - Mistik Bali: Ilmu Hitam di Bali
1 year ago
Esoteric Worlds
doa mantra untuk sehari hari - *Pada waktu bangun pagi:* Om, Utedanim bhagavantah syamota prapitva uta madhye ahnam, utodinau madhvantan tsuryasya vayam devanam sumantausyama.(Atharva...
2 years ago

Umaseh.com

4 jalan mencari Tuhan
belajar menjadi pengobat (terapis) yang terampil
caru eka sata (ayam brumbun) dan Rsi Ghana Alit
tips sukses secara cepat dan aman
Pura Payogan Agung dan Pura Agung Giri Jagat Natha

Ghanta Yoga

Promote Your Page Too
Feedjit

Agama dan Budaya Bali di persimpangan jalan | Powered by Blogger | Entries (RSS) | Comments (RSS) | Designed by MB Web Design | XML Coded By Cahayabiru.com

ition: relative; padding: 0pt; margin: 0pt; border-width: 0px; width: 200px;">

Agama dan Budaya Bali di persimpangan jalan | Powered by Blogger | Entries (RSS) | Comments (RSS) | Designed by MB Web Design | XML Coded By Cahayabiru.com